Selamat Hari Guru

Aku merasa dilahirkan di dalam kamar yang gelap gulita. Kebijaksanaan berusaha keras membuka mata ku agar dapat melihat cahaya. Lampu di kamar rupanya cukup terang, tapi percuma, mata ku lah yang tertutup. Cahaya akan percuma untuk orang yang menutup mata. Aku beruntung, dengan bimbingan Kebijaksanaan, akhirnya mau membuka mata dan melihat semua benda-benda di kamar. Beragam warna, bentuk, dan rasa.

Kebijaksanaan ku pun keluar dari kamar, sebari berkata “ayok, keluar!”. Aku hanya terdiam. “Ayok, keluar!”, “Ayok, keluar!”, “Ayok, keluar!” . Akhirnya Kebijaksanaan menyerah. Ia keluar tanpa membawa ku keluar. Aku tetap didalam kamar, berusaha memahami makna ajakan Kebijaksanaan. “Tidak kah aneh, Ia meninggalkan kamar yang begitu indah,” gumam ku. Semua yang aku perlukan untuk hidup, ada di kamar ini.

Hari-hari di dalam kamar sangatlah memuaskan. Sampai suatu saat, Kesadaran mengetuk jendela kamar dari luar. Sebetulnya, bisa saja aku mengabaikan suara ketukan itu. Toh, yang aku butuhkan semua ada di dalam kamar. Tapi, Kesadaran yang berdiri di luar jendela tersebut tidak menyerah. Ia terus mengetuk, yang bahkan membuat risih telinga. Tapi hal itu, pada akhirnya justru membuat penasaran. Ada apa diluar sana?

Aku beranjak dari tempat tidur, kemudian mebuka gordeng. Sungguh silau. Tepat didepan mata ku, Kesadaran berdiri. Ia berkata, “lihatlah, dunia begitu luas, jauh lebih luas dibandingkan dengan kamar mu”. Aku tidak begitu tertarik, aku memang melihat di luar jendela memang lebih luas dan berwarna. Tapi seberapa luas? pastilah ada batas kan? Mungkin kamar ku berada didalam kamar yang lebih luas. Kalau iya, lalu apa bedanya berada di luar sana dibandingkan dengan didalam kamar ku ini?

Aku kembali ke tempat tidur, sembari menikmati hidup didalam kamar. Rupanya, Kesadaran tidak beranjak. Ia tetap bertahan di depan jendela. Ia mengatakan, “cobalah buka jendela ini”. “Apakah itu jebakan?” aku berusaha memahami. Apa yang Ia inginkan, aku sudah cukup dengan apa yang ada di kamar ini. Ya, walapun aku akui, ada kepuasan tersendiri ketika melihat keluar jendela. Tapi, apa perlu sampai membuka jendela?

Aku merasa jengkel, tapi Ia tetap bergumam dan sesekali menunjukan gambaran-gambaran apa yang ada diluar sana. Aku tertarik, tapi aku tetap berpikir, “itu tidak diperlukan, cukuplah apa yang ada di kamar ini”. Sesekali Ia kemudian bertanya tentang apa yang ada di luar. Seolah meyakinkan diri, bahwa aku telah mendengarkan. Sebagian besar aku mengingatnya, sebagian lainnya sudah lupa. Ia memuji ku, saat aku tepat menjawab. “Tapi, memang apa gunanya mengingat itu semua?” gumam ku.

Akhirnya, aku tergoda untuk membuka jendela. Benar apa yang dikatakan Kesadaran, selain dapat melihat lebih jelas dunia luar, udara sejuk nan wangi pun dapat diendus. “Di luar kamar, nampaknya memang lebih indah”. Aku bertekat untuk mengetahui lebih banyak dunia di luar kamar ini. ” Kesadaran, mohon ceritakan lebih banyak tetang dunia luar!” pinta ku. Dengan senang hati, Kesadaran menceritakan semua yang Ia ketahui.

“Nalar ku perlu informasi yang lebih banyak lagi, wahai Kesadaran”, “Maaf, hanya ini yang Kesadaran dapat ceritakan”. “Kenapa?” “Yang kamu perlukan bukan cerita, tapi kamu perlu mengalaminya sendiri”. “Bagaimana caranya?” “Keluarlah nak, di belakangmu itu ada pintu, keluarlah lewat pintu itu”. Aku ingat, dulu sekali, Kebijaksanaan ku mengajak ku keluar lewat pintu itu. Tapi aku menolaknya. “Itulah mengapa Kebijaksanaan mu membawa ku kemari,” jelas Kesadaran.

Aku beranjak, membuka pintu. Tepat di depan pintu, ternyata Kebijaksanaan ku menunggu. Ia sangat bagahia, akhirnya aku keluar kamar. Tidak ada hal yang Ia inginkan. Ia hanya ingin melihat ku keluar, itu saja. Aku melihat sekeliling isi rumah. Menarik, tapi, aku sudah tahu, banyak hal yang lebih menarik lagi diluar rumah. Aku beranjak ke pintu depan. Sangat berharap Kesadaran menyambut ku di depan sana. Ternyata tidak ada. Kesadaran ku, hanya melambai kan tangan dari kejauhan. “Selamat, carilah apa yang kamu inginkan di dunia ini.” Aku tahu betul, Kesadaran ku kini sedang berada di jendela rumah orang lain. Sepertinya Ia melakukan hal yang sama terhadap anak yang berada di dalam kamar itu sebagaimana yang telah Ia lakukan kepada ku.

Aku, pergi. Menjelajah. Mencari apa yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kerap kali, aku menjumpai Kesadaran lainnya. Sedikit berbeda, ia tidak memberitahuku banyak hal tentang dunia. Ia menganggap aku bisa mencari tahu segalanya sendiri. Ia hanya membekali ku dengan perlengkapan khusus (sangat spesifik). Kini, aku sedang mengembara, menuju yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Walau sejauh ku beranjak, selalu seolah ada dunia yang lebih luas didapan sana. Tak berujung. Aku pun ingin menjadi Kesadaran, yang rupanya Kesadaran pun menjadi Kebijaksanaan bagi anak-anaknya.

Selamat Hari Kesadaran.

Tips Mengusir Ragu dan Kekhawatiran Berlebihan

Semua orang pasti pernah mengalami keraguan, pun Saya telah banyak mengalami keraguan. Tak terhitung lagi seberapa banyak Saya pernah ragu dalam suatu hal. Tak terhitung ini maksudnya bukan berarti tak berhingga jumlahnya, tentulah masih terbatas hingga N kali ragu, dimana N adalah bilangan bulat dan N < ∞. Maksud dari tak terhitung adalah kebanyakan telah terlupakan / dilupakan.

Pada dasarnya, keraguan muncul ketika kita mendapati kekhawatiran. Sedangkan kekhawatiran muncul ketika kita memikirkan kemungkinan negatif / kemungkinan kegagalan. Memang tidak salah memiliki kekhawatiran, itu juga dapat menjadi motivasi untuk berbuat dengan benar agar terhindar dari hal yang dikhawatirkan terjadi.

Sejak awal dinyatakan lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), selain rasa senang, saya telah diliputi rasa kekhawatiran. Bagaimana tidak, masuk ke ITB yang dulu didam-idamkan, saat itu seolah berubah menjadi sebuah ancaman. Rasa khawatir muncul ketika membayangkan kelak bagaimana. Bisakah melalui pembelajaran di ITB dengan baik? atau justru mengecewakan? Kekhawatiran itu bukan tidak beralasan, sebagai seorang siswa biasa dari kampung, kecerdasan pas-pasan, tidak pernah bimbel, harus bersaing dengan mereka yang berasal dari sekolah favorit dari kota, dan selalu ikut bimbel? Tentu saja itu hanya kekhawatiran berlebihan Saya saja.

Saya diterima di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Pikiran Saya saat itu adalah FMIPA sebagaimana pada umumnya terdapat pelajaran Biologi. Ah, pelajaran ini paling susah, karena banyak hapalan. Sehingga, semua buku SMA berkaitan dengan Biologi Saya bawa. Kalau buku fisika, matematika, dan kimia, sih hanya bawa secukupnya saja. Tapi, lucunya adalah setelah di Bandung, kemudian mendapatkan informasi dari senior, bahwa FMIPA ITB itu tidak ada pelajaran Biologi, Wow. Kekhawatiran Saya ternyata tak berguna.

Saat pendaftaran ulang mahasiswa baru, semua persyaratan Saya penuhi kecuali foto (Rontgen) Toraks dan keterangan bebas buta warna dari dokter spesialis mata. Awalnya Saya mengaggap itu tidak penting, tapi saat mengetahui peseta lain membawa kelengkapan tersebut, Saya mulai khawatir. Ditambah lagi, saat itu ada peserta daftar ulang yang diminta balik terlebih dahulu karena tidak membawa Toraks. Kekhawatiran semakin meningkat ketika mengetahui harga Toraks dan tes bebas buta-warna yang cukup mahal, yang saat itu uang disaku tidak cukup. Ya, Saya datang ke Bandung hanya dengan uang yang cukup untuk makan minum.

Antrean semakin sedikit, sebentar lagi Saya akan dipanggil. Saya sudah membayangkan apa yang akan terjadi, diusir dan gagal mendaftar ulang. Tiba nama saya dipanggil, mulai melangkah ke meja pengecekan kelengkapan administrasi. Perlembar dokumen di lihat, ijazah, skhu, kk, dll. Anehnya adalah, saat itu Saya di anggap telah memenuhi semua kelengkapan. Alhamdulillah. Kok bisa? Apakah panitia pengecekan salah mencentang list kelengkapan? Entahlah, Saya yang merasa kurang kelengkapan tidak berani bertanya “apakah surat keterangan bebas buta warna dan Toraks tidak diperlukan?”.

Selama di ITB, banyak sekali hal yang mebuat khawatir. Saya khawatir tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik, konon ujian di ITB sangat susah. Terlebih saat melihat “tembok ratapan” (istilah papan pengumuman nilai fisika dasar), banyak mahasiswa yang dapat D dan E, tidak lulus. Namun, kekhawatiran itu ternyata tidak pernah terjadi. Nilai saya hampir selalu bagus. Matakuliah utama, fisika dasar, kimia dasar, dan kalkulus, semuanya dapet A. Wah.

Tidak hanya dalam urusan akademik, urusan sosial-mahasiswa pun Saya menemui banyak hal yang membuat khawatir. Misalnya, apakah Saya bisa mengemban amanah menjadi ketua? Ternyata tidak ada hal yang mesti dikhawatirkan. Beberapa kali menjadi ketua panitia suatu kegiatan, menjadi ketua Unit Pramuka ITB, menjadi ketua Racana Ganesha, menjadi Pembina, smua berjalan sebagaimana mestinya. Kekhawatiran yang ada di awal, ternyata tidak pernah terjadi. Sebetulnya masih banyak lagi pengalaman yang membat khawatir. Kelulusan, pencarian beasiswa S2, krisis, dan sebagainya. Bahkan dalam rencana pernikahan pun sempat ada keraguan.

Melalui pengalaman-pengalaman tersebut, Saya telah mengidentifikasi bahwa kekhawatiran berlebihan itu dapat muncul ketika kita terlalu banyak membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk terjadi. Padahal, kemungkinan buruk itu mungkin atau bahkan tidak pernah akan terjadi. Saya mendapati bahwa untuk menghilangkan atau setidaknya mereduksi rasa khawatir adalah dengan,

  1. Kembali mengingat nikmat Allah yang selama ini didapat. Berapa banyak? tidak terbayangkan jumlahnya kan?
  2. Mengingat kembali bahwa selama ini dan sampai saat ini, Allah berpihak (memberi yang terbaik) pada mu. Allah juga yang telah menghantarkan mu sampai saat ini, menjadi seperti ini. Dan apabila Allah sampai saat ini berpihak pada mu, yakinilah bahwa seterusnya pun Allah akan berpihak pada mu.
  3. Menghilangkan atau setidaknya mengurangi membayangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi.
  4. Mulai membayangkan kemungkinan positif yang akan terjadi dan mencari-cari hikmah yang akan didapat bial kemungkinan buruk terjadi.
  5. Berusaha secara maksimal, kemudian bertawakal. Pada akhirnya, kita sadar betul bahwa yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha. Selebihnya Allah yang menentukan, kemudian bersabar dengan apapun yang akan terjadi.
  6. Ikhlas. Dalam hal ini, yang kita kerjakan pada dasarnya kita niatkan karena Allah. Maka apabila benar-benar ikhlas, tidak ada lagi angan-angan duniawi. Sehingga bila tujuan tidak tercapai kit tidak akan kecewa, karena toh niatnya karena Allah. Dan amal sudah dicatat berdasarkan niat, bukan hasilnya.

Bila rasa kekhawatiran telah hilang atau setidaknya berkurang hingga ke level kekhawatiran yang wajar maka otomatis keraguan akan hilang dengan sendirinya. Keraguan akan berubah menjadi kemantapan. Sikap ragu-ragu ini memang menjadi ujian yang cukup besar bagi manusia. Sebab itulah yang dilakukan setan, memberi was-was kedalam dada manusia. Salah satunya dengan membuat manusia banyak membayangkan kemungkinan buruk. Sehingga akhirnya bisa melemahkan keyakinan kita terhadap takdir yang Allah tetapkan. Takdir yang Allah tetapkan pastilah baik untuk hambanya, itu lah yang harus dipahami dan diyakini.

Perasaan atau Pikiran?

Suatu hal dapat dirasakan dengan bantuan alat pengindera (sensor). Manusia umumnya telah dibekali 5 sensor yaitu: (1) mata untuk mengindera cahaya tampak (melihat), (2) telinga untuk mengindera getaran akustik (suara), (3) kulit untuk mengindera tekanan dan panas, (4) hidung untuk mengindera bau, dan (5) lidah untuk mengindera cita-rasa. Tentu semua sudah memahaminya bukan?

Tapi, coba tinjau rasa khawatir, gelisah, kagum, bahagia, atau bahkan perasaan cinta. Kira-kira sensor apa yang kita gunakan sehingga merasakan hal tersebut? Atau, jangan-jangan kita telah salah memahami; bahwa khawatir, gelisah, kagum, bahagia, dan cinta bukanlah rasa! Melainkan suatu pikiran.

Kemudian, pikiran dapat dipahami sebagai olahan dengan masukan dari satu sensor atau lebih. Sebagai contoh: khawatir adalah kondisi pikiran ketika melihat hal yang mencekam atau sebagainya. Demikian halnya dengan cinta, ia dapat dipandang sebagai suatu pikiran, bukan rasa. Pikiran cinta dapat timbul setelah kita mengolah hasil penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan/atau penciuman.

Nafsu

Ada pikiran yang mungkin diluar kesadaran, yaitu nafsu. Nafsu inilah yang menjadi sumber “perasaan” seperti marah, bahagia, atau cinta. Nafsu terbagi menjadi dua yaitu fujur dan takwa. Fujur adalah nafsu yang buruk, dimana segala dorongan keburukan berasal darinya. Sedangkan takwa adalah nafsu yang baik, dimana segala dorongan kebaikan berasal darinya. Oleh karena itu, marah, bahagia, cinta dan “perasaan lainnya” bisa berasal dari fujur atau takwa. Tentu efeknya berbeda.

Tantangan

Siang tadi, saya makan sekira di (-6.894798, 107.610841). Kebetulan, saat makan sambal, terpikir sesuatu yaitu “mengapa orang mau makan sambal?”. Padahal, semua tahu bahwa sambal pada akhirnya menyiksa.

Bila dipahami, ternyata yang membuat orang mengkonsumsi sambal adalah karena sensasinya. Menantang! Ternyata, tidak hanya tentang sambal, banyak hal-hal yang dilakukan oleh manusia karena hal itu menantang?

Bahkan, manusia bertahan hidup karena satu alasan yaitu menantang. Lihatlah, mulai dari bayi, manusia sudah beradaptasi dengan tantangan. Tidak bisa bicara, tentu tantangan berat bagi seorang yang baru lahir kedunia. Tapi apa? Bayi mampu bertahan hidup dengan hanya merengek.

Rupanya, mungkin sudah fitrah manusia, bahwa manusia menyukai dan menerima tantangan. Lihat lah bagaimana manusia menerima tantangan berat ini:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”(Surat Al-Ahzab : 72)

Rincian tantangan tersebut, telah banyak dijabarkan dalam Al-Quran. Salah satu tantangan yang sangat jelas, dan cocok untuk kaum pembelajar adalah tantangan untuk berpikir!
Lalu, mengapa banyak yang menghindari akal dalam beragama?

Lihat, setidaknya ada 71 tantangan untuk berpikir : (lihat disini)