Tips Mengusir Ragu dan Kekhawatiran Berlebihan

Semua orang pasti pernah mengalami keraguan, pun Saya telah banyak mengalami keraguan. Tak terhitung lagi seberapa banyak Saya pernah ragu dalam suatu hal. Tak terhitung ini maksudnya bukan berarti tak berhingga jumlahnya, tentulah masih terbatas hingga N kali ragu, dimana N adalah bilangan bulat dan N < ∞. Maksud dari tak terhitung adalah kebanyakan telah terlupakan / dilupakan.

Pada dasarnya, keraguan muncul ketika kita mendapati kekhawatiran. Sedangkan kekhawatiran muncul ketika kita memikirkan kemungkinan negatif / kemungkinan kegagalan. Memang tidak salah memiliki kekhawatiran, itu juga dapat menjadi motivasi untuk berbuat dengan benar agar terhindar dari hal yang dikhawatirkan terjadi.

Sejak awal dinyatakan lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), selain rasa senang, saya telah diliputi rasa kekhawatiran. Bagaimana tidak, masuk ke ITB yang dulu didam-idamkan, saat itu seolah berubah menjadi sebuah ancaman. Rasa khawatir muncul ketika membayangkan kelak bagaimana. Bisakah melalui pembelajaran di ITB dengan baik? atau justru mengecewakan? Kekhawatiran itu bukan tidak beralasan, sebagai seorang siswa biasa dari kampung, kecerdasan pas-pasan, tidak pernah bimbel, harus bersaing dengan mereka yang berasal dari sekolah favorit dari kota, dan selalu ikut bimbel? Tentu saja itu hanya kekhawatiran berlebihan Saya saja.

Saya diterima di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Pikiran Saya saat itu adalah FMIPA sebagaimana pada umumnya terdapat pelajaran Biologi. Ah, pelajaran ini paling susah, karena banyak hapalan. Sehingga, semua buku SMA berkaitan dengan Biologi Saya bawa. Kalau buku fisika, matematika, dan kimia, sih hanya bawa secukupnya saja. Tapi, lucunya adalah setelah di Bandung, kemudian mendapatkan informasi dari senior, bahwa FMIPA ITB itu tidak ada pelajaran Biologi, Wow. Kekhawatiran Saya ternyata tak berguna.

Saat pendaftaran ulang mahasiswa baru, semua persyaratan Saya penuhi kecuali foto (Rontgen) Toraks dan keterangan bebas buta warna dari dokter spesialis mata. Awalnya Saya mengaggap itu tidak penting, tapi saat mengetahui peseta lain membawa kelengkapan tersebut, Saya mulai khawatir. Ditambah lagi, saat itu ada peserta daftar ulang yang diminta balik terlebih dahulu karena tidak membawa Toraks. Kekhawatiran semakin meningkat ketika mengetahui harga Toraks dan tes bebas buta-warna yang cukup mahal, yang saat itu uang disaku tidak cukup. Ya, Saya datang ke Bandung hanya dengan uang yang cukup untuk makan minum.

Antrean semakin sedikit, sebentar lagi Saya akan dipanggil. Saya sudah membayangkan apa yang akan terjadi, diusir dan gagal mendaftar ulang. Tiba nama saya dipanggil, mulai melangkah ke meja pengecekan kelengkapan administrasi. Perlembar dokumen di lihat, ijazah, skhu, kk, dll. Anehnya adalah, saat itu Saya di anggap telah memenuhi semua kelengkapan. Alhamdulillah. Kok bisa? Apakah panitia pengecekan salah mencentang list kelengkapan? Entahlah, Saya yang merasa kurang kelengkapan tidak berani bertanya “apakah surat keterangan bebas buta warna dan Toraks tidak diperlukan?”.

Selama di ITB, banyak sekali hal yang mebuat khawatir. Saya khawatir tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik, konon ujian di ITB sangat susah. Terlebih saat melihat “tembok ratapan” (istilah papan pengumuman nilai fisika dasar), banyak mahasiswa yang dapat D dan E, tidak lulus. Namun, kekhawatiran itu ternyata tidak pernah terjadi. Nilai saya hampir selalu bagus. Matakuliah utama, fisika dasar, kimia dasar, dan kalkulus, semuanya dapet A. Wah.

Tidak hanya dalam urusan akademik, urusan sosial-mahasiswa pun Saya menemui banyak hal yang membuat khawatir. Misalnya, apakah Saya bisa mengemban amanah menjadi ketua? Ternyata tidak ada hal yang mesti dikhawatirkan. Beberapa kali menjadi ketua panitia suatu kegiatan, menjadi ketua Unit Pramuka ITB, menjadi ketua Racana Ganesha, menjadi Pembina, smua berjalan sebagaimana mestinya. Kekhawatiran yang ada di awal, ternyata tidak pernah terjadi. Sebetulnya masih banyak lagi pengalaman yang membat khawatir. Kelulusan, pencarian beasiswa S2, krisis, dan sebagainya. Bahkan dalam rencana pernikahan pun sempat ada keraguan.

Melalui pengalaman-pengalaman tersebut, Saya telah mengidentifikasi bahwa kekhawatiran berlebihan itu dapat muncul ketika kita terlalu banyak membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk terjadi. Padahal, kemungkinan buruk itu mungkin atau bahkan tidak pernah akan terjadi. Saya mendapati bahwa untuk menghilangkan atau setidaknya mereduksi rasa khawatir adalah dengan,

  1. Kembali mengingat nikmat Allah yang selama ini didapat. Berapa banyak? tidak terbayangkan jumlahnya kan?
  2. Mengingat kembali bahwa selama ini dan sampai saat ini, Allah berpihak (memberi yang terbaik) pada mu. Allah juga yang telah menghantarkan mu sampai saat ini, menjadi seperti ini. Dan apabila Allah sampai saat ini berpihak pada mu, yakinilah bahwa seterusnya pun Allah akan berpihak pada mu.
  3. Menghilangkan atau setidaknya mengurangi membayangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi.
  4. Mulai membayangkan kemungkinan positif yang akan terjadi dan mencari-cari hikmah yang akan didapat bial kemungkinan buruk terjadi.
  5. Berusaha secara maksimal, kemudian bertawakal. Pada akhirnya, kita sadar betul bahwa yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha. Selebihnya Allah yang menentukan, kemudian bersabar dengan apapun yang akan terjadi.
  6. Ikhlas. Dalam hal ini, yang kita kerjakan pada dasarnya kita niatkan karena Allah. Maka apabila benar-benar ikhlas, tidak ada lagi angan-angan duniawi. Sehingga bila tujuan tidak tercapai kit tidak akan kecewa, karena toh niatnya karena Allah. Dan amal sudah dicatat berdasarkan niat, bukan hasilnya.

Bila rasa kekhawatiran telah hilang atau setidaknya berkurang hingga ke level kekhawatiran yang wajar maka otomatis keraguan akan hilang dengan sendirinya. Keraguan akan berubah menjadi kemantapan. Sikap ragu-ragu ini memang menjadi ujian yang cukup besar bagi manusia. Sebab itulah yang dilakukan setan, memberi was-was kedalam dada manusia. Salah satunya dengan membuat manusia banyak membayangkan kemungkinan buruk. Sehingga akhirnya bisa melemahkan keyakinan kita terhadap takdir yang Allah tetapkan. Takdir yang Allah tetapkan pastilah baik untuk hambanya, itu lah yang harus dipahami dan diyakini.