Perasaan atau Pikiran?

Suatu hal dapat dirasakan dengan bantuan alat pengindera (sensor). Manusia umumnya telah dibekali 5 sensor yaitu: (1) mata untuk mengindera cahaya tampak (melihat), (2) telinga untuk mengindera getaran akustik (suara), (3) kulit untuk mengindera tekanan dan panas, (4) hidung untuk mengindera bau, dan (5) lidah untuk mengindera cita-rasa. Tentu semua sudah memahaminya bukan?

Tapi, coba tinjau rasa khawatir, gelisah, kagum, bahagia, atau bahkan perasaan cinta. Kira-kira sensor apa yang kita gunakan sehingga merasakan hal tersebut? Atau, jangan-jangan kita telah salah memahami; bahwa khawatir, gelisah, kagum, bahagia, dan cinta bukanlah rasa! Melainkan suatu pikiran.

Kemudian, pikiran dapat dipahami sebagai olahan dengan masukan dari satu sensor atau lebih. Sebagai contoh: khawatir adalah kondisi pikiran ketika melihat hal yang mencekam atau sebagainya. Demikian halnya dengan cinta, ia dapat dipandang sebagai suatu pikiran, bukan rasa. Pikiran cinta dapat timbul setelah kita mengolah hasil penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan/atau penciuman.

Nafsu

Ada pikiran yang mungkin diluar kesadaran, yaitu nafsu. Nafsu inilah yang menjadi sumber “perasaan” seperti marah, bahagia, atau cinta. Nafsu terbagi menjadi dua yaitu fujur dan takwa. Fujur adalah nafsu yang buruk, dimana segala dorongan keburukan berasal darinya. Sedangkan takwa adalah nafsu yang baik, dimana segala dorongan kebaikan berasal darinya. Oleh karena itu, marah, bahagia, cinta dan “perasaan lainnya” bisa berasal dari fujur atau takwa. Tentu efeknya berbeda.

Tantangan

Siang tadi, saya makan sekira di (-6.894798, 107.610841). Kebetulan, saat makan sambal, terpikir sesuatu yaitu “mengapa orang mau makan sambal?”. Padahal, semua tahu bahwa sambal pada akhirnya menyiksa.

Bila dipahami, ternyata yang membuat orang mengkonsumsi sambal adalah karena sensasinya. Menantang! Ternyata, tidak hanya tentang sambal, banyak hal-hal yang dilakukan oleh manusia karena hal itu menantang?

Bahkan, manusia bertahan hidup karena satu alasan yaitu menantang. Lihatlah, mulai dari bayi, manusia sudah beradaptasi dengan tantangan. Tidak bisa bicara, tentu tantangan berat bagi seorang yang baru lahir kedunia. Tapi apa? Bayi mampu bertahan hidup dengan hanya merengek.

Rupanya, mungkin sudah fitrah manusia, bahwa manusia menyukai dan menerima tantangan. Lihat lah bagaimana manusia menerima tantangan berat ini:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”(Surat Al-Ahzab : 72)

Rincian tantangan tersebut, telah banyak dijabarkan dalam Al-Quran. Salah satu tantangan yang sangat jelas, dan cocok untuk kaum pembelajar adalah tantangan untuk berpikir!
Lalu, mengapa banyak yang menghindari akal dalam beragama?

Lihat, setidaknya ada 71 tantangan untuk berpikir : (lihat disini)