Perlukah Bersukacita saat Idul Fitri?

Gambar saat Idul Fitri 1437 H

Bila Idul Fitri menandai berakhirnya Ramadan, mengapa harus gembira denga Idul Fitri? Bukankah harusnya kita sedih, dengan berpisahnya kita dengan Ramadan? Pandemi Covid-19 belum berakhir, banyak kesusahan di manan-mana, mengapa harus gembira denga Idul Fitri? Bila saat ini tidak dapat berkumpul bersama keluarga untuk merayakan Idul Fitri, mengapa tetap harus bersukacita?

Bila melihat realitas yang ada, sepertinya tidak lah tepat bahwa kita perlu bersukacita saat Idul Fitri tahun ini. Namun, ketika kita mengetahui bahwa sukacita tersebut adalah ibadah maka semua alasan untuk tidak bersukacita saat saat Idul Fitri menjadi gugur. Tentu saja sukacita yang dimaksud adalah bentuk syukur atas disempurnakannya ibadah puasa. Syukur atas hidayah islam yang masih terus tercurah kepada kita.

Bahkan, Rasulullah saw. sendri, mengizinkan hiburan-hiburan (perkara mubah) hadir di dalam rumah Nabi. Sebagaimana yang tergambar dalam kisah berikut:

Dari Aisyah ra., ia berkata: Abu Bakar pernah datang ke rumahku ketika dua orang gadis Ansar berada di dekatku. Mereka saling tanya jawab dengan syair yang dilantunkan orang-orang Ansar pada hari Bu’ats (hari peperangan antara kabilah Aus dan Khazraj).

Aisyah berkata: Sebenarnya mereka berdua bukanlah penyanyi.

Abu Bakar berkomentar: Apakah ada nyanyian setan di rumah Rasulullah saw.? Hal itu terjadi pada hari raya.

Lalu Rasulullah saw. bersabda: Hai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya dan ini adalah hari raya kita.

HR. Muslim No.1479

Dengan demikian, rasa sukacita Idul Fitri tetap perlu kita tampakkan, karena itu adalah ibadah. Sebagaimana bentuk ibadah lainnya, ibadah tetap dikerjakan baik dikala sedang diliputi kesedihan mapupun sedang diliputi kesenangan.

Sama, Setara, dan Identik

Sumber Gambar: kompas.com

Mumpung masih heboh hari Kartini, boleh lah sedikit ulasan tentang makna setara, sama, dan identik. Karena pastilah hari Kartini dikait-kaitkan dengan kesetaraan gender, mengingat sosok Kartini lah yang menjadi icon penggiat gerakan kesetaraan gender. Kemudian, lahirlah ungkapan “setara bukan berarti sama”.

Sedikit kritik Penulis ada pada pemilihan kata “sama” sebagai antitesis dari kata “setara”. Penulis lebih setuju bila ungkapannya diganti menjadi, “setara bukan berarti identik”. Walaupun, lebih tepatnya emansipasi tetaplah disebut emansipasi, tidak perlu di istilahkan sebagai pesetaraan atau bahkan persamaan.

Mengapa penulis lebih sreg dengan unkapan “setara bukan berarti identik?” Maka perlu dipahami terlebih dahulu makna dari kata setara, sama, dan identik. Kita mulai dari definisi dalam KBBI:

Setara

  1. sejajar (sama tingginya dan sebagainya):kedua kakak beradik itu duduk ~
  2. sama tingkatnya (kedudukannya dan sebagainya); sebanding: pilihlah istri yang ~ denganmu
  3. sepadan; seimbang: tenaga yang dipergunakan harus ~ dengan hasilnya

Sama

  1. serupa (halnya, keadaannya, dan sebagainya); tidak berbeda; tidak berlainan:pada umumnya mata pencaharian penduduk desa itu —kedua soal itu — sulitnya
  2. berbarengan; bertepatan:kedua tamu itu datang pada waktu yang —
  3. sepadan; seimbang; sebanding; setara:sebagai calon istri, pendidikan gadis itu tidak — dengan pendidikanmu

Identik

  1. sama benar; tidak berbeda sedikit pun:keputusan PBB tidak harus selalu — dengan kepentingan negara-negara besar
  2. sama dan sebangun

Melihat definisi di KBBI tersebut, pastilah susah di pahami! Lihatlah, didefinisi “Setara : Sama Tingkatnya”, definisi lainny adalah “Sepadan”. Kemudian salah satu definisi kata “Sama” adalah “Sepadan”, yang merupakan salah satu definisi kata “Setara”. Lebih membingungkan lagi pada kata “Identik”, definisinya “sama benar”, maksudnya apa coba?

Kata “sama” sebetulnya menggambarkan makna atau nilai yang terkandung tidak lah berbeda. Konsep “sama” sendiri terlibat dalam konsep setara dan identik. Maksudnya begini, didalam “setara” itu ada hal yang “sama”. Contohnya, 1 meter dan 3,28084 kaki. Keduanya sama panjang. Akan tetapi berbeda satuan. Maka dapat dikatakan bahwa 1 meter dan 3,28084 kaki itu setara. Jadi, ungkapkan bahwa “setara bukan berarti sama” itu tidak tepat. Karena bila setara, sudah pasti sama nilainya, akan tetapi berbeda jenis. Sedangkan identik, bermakna nilai dan jenis yang sama. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan. Sehingga ungkapan “setara bukan berarti identik” lebih cocok, karena setara dan identik memiliki pertentangan konsep walaupun keduanya menggunakan konsep “sama”.

Cinta karena Allah

Aku mencintaimu karena Allah.

Kira-kira seperti itulah ungkapan yang Rasulullah ajarkan,

Jika salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya hendaklah dia memberitahu saudaranya itu bahwa dia mencintainya.”

HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 421/542, shahih kata Syaikh Al Albani

Tapi, implementasinya bagaimana? Kalimat tersebut mungkin akan sangat berat diucapkan, mengingat itu menyandarkan kecintaannya sebab Allah swt. semata. Sedangkan kita, umumnya mencintai orang lain karena kecantikannya, kebaikan hatinya, atau sebab lainnya yang membuat kita tertarik.

Persoalan pertama yang kita hadapi adalah apakah cinta yang kita miliki benar-benar karena Allah? Bukan sebab lain? Bagaimana kita mengidentifikasinya? Bila cinta kita bukan karena Allah, lalu cinta karena Allah itu seharusnya seperti apa?

Mencintai karena Allah semakna dengan mencintai dengan ikhlas. Secara umum ikhlas berarti satu niat untuk satu tujuan (tidak mencampurka dengan tujuan-tujuan lain). Sebagai contoh, kita berniat pergi ke warteg untuk makan dan jika tujuan kita hanya untuk makan maka kita telah ikhlas. Akan tetapi, bila niat kita ke warteg untuk makan namun tujuannya ada lebih dari satu, misal untuk makan dan untuk menghindari makan dirumah, maka hal ini dapat dikatakan kita tidak ikhlas. Secara khusus, dalam syariat islam, ikhlas merujuk pada niat yang hanya untuk Allah swt. semata. Sebagaimana kita solat, maka niat kita hanya untuk Allah swt. semata. Sehingga tujuan solat hanya untuk beribadah kepada Allah swt. saja. Itulah disebut ikhlas. Bila ada tujuan lain maka niat sudah dikotori dan menjadi tidak ikhlas.

Dengan demikian, mencintai karena Allah dapat dimaknai sebagai sikap/rasa mencintai yang tujuan akhirnya semata-mata untuk ibadah kepada Allah swt. Sehingga, pada pasangan yang saling mencintai dengan ikhlas maka tidak lain tujuannya adalah pernikahan dan membentuk rumah tangga. Tidak hanya itu, bahkan telah banyak kasus, bahwa bisa saja suatu pasangan yang saling mencintai setelah menikah.

Dari uraian diatas, jelas tidak mungkin ada rasa cinta yang ikhlas, bila tujuannya bukan untuk ibadah (misal, membentuk rumah tangga). Ini menjadi indikator pertama bahwa cinta yang kita miliki karna Allah atau bukan. Sedangkan intdikator kedua, cinta yang ikhlas maka akan membawa pada kebaikan dan pada akhirnya menambah keimanan. Indikator berikutnya adalah cinta yang ikhlas tidak akan mengalahkan kecintaan kita kepada Allah swt. Mungkin kisah cinta ditulisan sebelumnya bisa menjadi gambaran.

Lalu apakah ada cinta yang tidak ikhlas? Tentu saja. Sebagaimana pada tulisan sebelumnya, cinta bersumber dari nafsu. Ada dua jenis nafsu, nafsu yang mendorong kearah kebaikan dinamakan takwa. Sedangkan nafsu yang mendorong kearah keburukan dinamakan fujur. Cinta yang ikhlas, tentu bersumber dari takwa. Sedangkan cinta karna selain Allah swt. pastilah bersumber dari fujur. Dimana berisi dorongan-dorongan keburukan. Sebagaimana kita pahami, pergaulan bebas sering mengkambinghitamkan cinta dalam berbuat kemaksiatan.

Cinta

Kisah Nabi Ibrahim (kesejahteraan dilimpahkan atasnya) secara ringkas terabadikan di QS. Ash-Shaaffaat: 99-112. Tentu banyak hikmah yang dapat diambil. Diantara hikmah yang menarik, bagi saya adalah kisah ini memberi makna cinta.

Kisah dimulai ketika Nabi Ibrahim dan Sarah, istrinya, yang telah hidup bahagia bertahun-tahun lamanya namun belum dikaruniai seorang anak. Tentu, Nabi Ibrahim sangatlah sabar dan terus berdoa agar mendapatkan seorang anak yang soleh, yang akan meneruskan perjuangannya menegakan tauhid. Saking harunya mendengar doa Nabi Ibrahim, Sarah pun menawarkan Hajar, pembantunya saat itu, untuk dijadikan istri kedua Nabi Ibrahim. Dari sini, kita sudah disuguhkan “pengorbanan” Sarah.

Setelah Nabi Ibrahim menikahi Hajar, dengan kehendak Allah swt., mereka dikaruniai anak. Anak itu bernama Ismail, yang ternyata sesuai harapan Nabi Ibrahim, seorang anak yang soleh dan menjadi penerusnya. Kecintaan Nabi Ibrahim kepada anaknya, Ismail, sungguh luar biasa. Bagaimana tidak, ialah seorang anak yang telah dinanti-nanti. Bahkan Sarah rela berbagi dengan Hajar agar Nabi Ibrahim memiliki anak.

Namun, kebahagiaan itu mendadak sirna, ketika Nabi Ibrahim dihadapkan fakta bahwa Allah swt. mewahyukan padanya agar menyembelih Ismail. Seorang anak yang sangat dicintai, dinanti-nanti kelahirannya, kini harus ia sembelih dengan tangannya sendiri? Setelah Sarah, kini Nabi Ibrahim lah yang harus melakukan “pengorbananan”. Namun Ismail, dengan kesalehannya hanya berkata, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.

Tiba dihari dimana akan dilaksanakan penyembelihan. Nabi Ibrahim kini ikhlas berserah diri untuk mengorbankan Ismail. Peralatan sembelihan telah siap, Ismail telah berpangku untuk siap sedia disembelih. Ketika itu pula, Allah swt. memberikan dua kabar bahagia sekaligus. Pertama, Ismail tidak jadi disembelih, Allah swt. ganti dengan hewan sembelihan yang besar. Kedua, Nabi Ibrahim akan dikaruniai anak kedua bernama Ishaq, anak yang soleh, dan menjadi Nabi pula, anak ini akan lahir dari rahim ibunda Sarah.

Kisah diatas, saya telah menambahkan tanda petik pada kata “pengorbanan”. Pengorbanan dalam kisah tersebut adalah bentuk ujian dari Allah swt. Bahwa, satu-satunya cinta yang diutamakan adalah cinta kepada Allah swt. Kecintaan manusia kepada manusia lain tidaklah lebih utama dibandingkan dengan kecintaan kepada Allah swt. sang pencipta manusia itu sendiri. Kisah diatas menyuguhkan kecintaan Sarah yang amat kepada Nabi Ibrahim. Kemudian Allah swt, uji dengan bertahun-tahu tidak dikaruniainya anak. Kecintaan Sarah terhadap Allah swt. diuji, apakah ia lebih mencintai-Nya atau lebih mencintai suaminya. Kemudian, Nabi Ibrahim pun Allah swt. uji, apakah lebih mencintai-Nya atau lebih mencintai anaknya.

Sarah dan Nabi Ibrahim berhasil menunjukan bahwa kecintaannya kepada Allah swt. lebih utama dari apapun. Allah swt. membalas cinta mereka dengan menambahkan nikmat yang tak pernah terputus. Bahkan sampai sekarang, umat islam mengabadikan keistimewaan Nabi Ibrahim dalam solat.

“Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Isma’il] Telah menceritakan kepada kami [Hammam] dari [Yahya] dari [Abu Salamah] bahwa [Urwah bin Az Zubair] Telah menceritakan kepadanya dari [Ibunya] yakni Asma`, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah.”

HR. Bukhari No 4821

Kisah dilema cinta pun tidak hanya dialami Nabi Ibrahim. Tapi juga Nabi Yaqub, dimana ia menanti-nantikan anak yang akan menjadi penerusnya. Kebahagiaan yang teramat bagi Nabi Yaqub adalah ketika Nabi Yusuf telah terlahir. Namun, kecintaan Nabi Yaqub kepada Nabi Yusuf kini Allah swt. uji. Nabi Yaqub harus berpisah dengan Nabi Yusuf selama bertahun-tahun lamanya. Disaat itu pula, Nabi Yaqub bahkan sampai sakit, matanya menjadi tidak bisa melihat karena terlalu banyak menangis. Hingga suatu saat Nabi Yaqub sadar, bahwa ia belum mengorbankan “Ismail”-nya sebagaimana Nabi Ibrahim mengorbankan Ismail-nya. Setelah Nabi Yaqub menyadari, kemudian ikhlas berserah diri, datanglah kabar bahwa ia akan segera Allah swt. pertemukan dengan anaknya. Singkat cerita akhirnya mereka berjumpa dan bahagia. Mata Nabi Yaqub pun atas izin Allah swt. sembuh dan bisa melihat kembali.

Perasaan atau Pikiran?

Suatu hal dapat dirasakan dengan bantuan alat pengindera (sensor). Manusia umumnya telah dibekali 5 sensor yaitu: (1) mata untuk mengindera cahaya tampak (melihat), (2) telinga untuk mengindera getaran akustik (suara), (3) kulit untuk mengindera tekanan dan panas, (4) hidung untuk mengindera bau, dan (5) lidah untuk mengindera cita-rasa. Tentu semua sudah memahaminya bukan?

Tapi, coba tinjau rasa khawatir, gelisah, kagum, bahagia, atau bahkan perasaan cinta. Kira-kira sensor apa yang kita gunakan sehingga merasakan hal tersebut? Atau, jangan-jangan kita telah salah memahami; bahwa khawatir, gelisah, kagum, bahagia, dan cinta bukanlah rasa! Melainkan suatu pikiran.

Kemudian, pikiran dapat dipahami sebagai olahan dengan masukan dari satu sensor atau lebih. Sebagai contoh: khawatir adalah kondisi pikiran ketika melihat hal yang mencekam atau sebagainya. Demikian halnya dengan cinta, ia dapat dipandang sebagai suatu pikiran, bukan rasa. Pikiran cinta dapat timbul setelah kita mengolah hasil penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan/atau penciuman.

Nafsu

Ada pikiran yang mungkin diluar kesadaran, yaitu nafsu. Nafsu inilah yang menjadi sumber “perasaan” seperti marah, bahagia, atau cinta. Nafsu terbagi menjadi dua yaitu fujur dan takwa. Fujur adalah nafsu yang buruk, dimana segala dorongan keburukan berasal darinya. Sedangkan takwa adalah nafsu yang baik, dimana segala dorongan kebaikan berasal darinya. Oleh karena itu, marah, bahagia, cinta dan “perasaan lainnya” bisa berasal dari fujur atau takwa. Tentu efeknya berbeda.

Tantangan

Siang tadi, saya makan sekira di (-6.894798, 107.610841). Kebetulan, saat makan sambal, terpikir sesuatu yaitu “mengapa orang mau makan sambal?”. Padahal, semua tahu bahwa sambal pada akhirnya menyiksa.

Bila dipahami, ternyata yang membuat orang mengkonsumsi sambal adalah karena sensasinya. Menantang! Ternyata, tidak hanya tentang sambal, banyak hal-hal yang dilakukan oleh manusia karena hal itu menantang?

Bahkan, manusia bertahan hidup karena satu alasan yaitu menantang. Lihatlah, mulai dari bayi, manusia sudah beradaptasi dengan tantangan. Tidak bisa bicara, tentu tantangan berat bagi seorang yang baru lahir kedunia. Tapi apa? Bayi mampu bertahan hidup dengan hanya merengek.

Rupanya, mungkin sudah fitrah manusia, bahwa manusia menyukai dan menerima tantangan. Lihat lah bagaimana manusia menerima tantangan berat ini:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”(Surat Al-Ahzab : 72)

Rincian tantangan tersebut, telah banyak dijabarkan dalam Al-Quran. Salah satu tantangan yang sangat jelas, dan cocok untuk kaum pembelajar adalah tantangan untuk berpikir!
Lalu, mengapa banyak yang menghindari akal dalam beragama?

Lihat, setidaknya ada 71 tantangan untuk berpikir : (lihat disini)